Senin, 21 Desember 2015

Simpang Lima Gumul

Monumen Simpang Lima Gumul atau biasa disingkat SLG adalah salah satu bangunan yang menjadi ikon Kabupaten Kediri yang bentuknya menyerupai Arc de Triomphe yang berada di Paris, Perancis.[1] SLG mulai dibangun pada tahun 2003 dan diresmikan pada tahun 2008, yang digagas oleh Bupati Kediri saat itu, Sutrisno. [2][3] Bangunan ini terletak di Desa Tugurejo, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tepatnnya di pusat pertemuan lima jalan yang menuju ke Gampengrejo, Pagu, Pare, Pesantren dan Plosoklaten, Kediri.[3]
Jika Arc de Triomphe dibangun untuk menghormati para pejuang yang bertempur dan mati bagi Perancis dalam Revolusi Perancis dan Perang Napoleon, namun belum ada kejelasan mengapa dan untuk menghormati siapa Monumen Simpang Lima Gumul Kediri ini dibangun.[3]. Dalam beberapa sumber menyebutkan, bahwa didirikannya monumen ini dikarenakan terinspirasi dari Jongko Jojoboyo, raja dari Kerajaan Kediri abad ke-12 yang ingin menyatukan lima wilayah di Kabupaten Kediri.[2][4]
Selain sebagai ikon sebuah kota, saat ini SLG juga menjadi sentra (pusat) ekonomi dan perdagangan baru (Central Business District) di Kabupaten Kediri, sehingga diharapkan dapat membuat perekonomian Kediri semakin bertambah maju.[1][5] Monumen Simpang Lima Gumul berlokasi di kawasan yang strategis dan dilengkapi dengan beragam sarana umum, seperti gedung pertemuan (convention hall), gedung serbaguna (multipupose), Bank daerah, terminal bus antar kota dan MPU (Mobil Penumpang Umum), pasar temporer (buka pada waktu-waktu tertentu) Sabtu-Minggu dan sarana rekreasi seperti wisata air Water Park Gumul Paradise Island.[1][5]

Karakteristik bangunan

Secara fisik, monumen Simpang Lima Gumul memiliki luas bangunan 37 hektar secara keseluruhan, dengan luas bangunan 804 meter persegi dan tinggi mencapai 25 meter yang terdiri dari 6 lantai, serta ditumpu 3 tangga setinggi 3 meter dari lantai dasar.[1][4] Angka luas dan tinggi monumen tersebut mencerminkan tanggal, bulan dan tahun hari jadi Kabupaten Kediri, yaitu 25 maret 804 Masehi.[1][4] Pembangunan monumen ini telah menghabiskan biaya lebih dari Rp 300 milyar.[3]
Di sisi monumen terpahat relief–relief yang menggambarkan tentang sejarah Kediri hingga kesenian dan kebudayaan yang ada saat ini.[1] Di salah satu sudut monumen terdapat sebuah arca (patung) Ganesha, salah satu dewa yang banyak dipuja oleh umat Hindu dengan gelar sebagai Dewa Pengetahuan dan Kecerdasan, Dewa Pelindung, Dewa Penolak Bala dan Dewa Kebijaksanaan.[3]
Di dalam bangunan monumen terdapat ruang-ruang untuk pertemuan di gedung utama dan ruang auditorium di lantai atas yang beratapkan mirip kubah (dome), ruang serba guna di ruang bawah tanah (basement), diorama di lantai atas, dan minimarket yang menjual berbagai souvenir di lantai bawah.[2] Bangunan ini juga memiliki tiga akses jalan bawah tanah untuk menuju monumen.[2]
Kawasan monumen ini tidak pernah sepi pengunjung di malam hari, karena di sekitar monumen banyak terdapat pedagang kaki lima yang berjejer di area Pasar Tugu.[1] Pada hari sabtu dan minggu pagi, kawasan ini juga ramai oleh pengunjung yang berolaraga lari pagi (jogging), pengunjung yang rekreasi, maupun pengunjung pasar Sabtu-Minggu di Tugu.[1] Pemerintah juga telah merencanakan akan membangun hotel, mall, pertokoan, pusat grosir, dan pusat produk – produk unggulan dan cinderamata di kawasan Monumen Simpang Lima Gumul.[1]

Minggu, 20 Desember 2015

Sejarah nama Indonesia

Nama Indonesia berasal dari berbagai rangkaian sejarah yang puncaknya terjadi di pertengahan abad ke-19. Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama, sementara kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan"). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

Daftar isi

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur"), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1] Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. [1]
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia")..

Politik

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1]
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)".
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.

Linguistik

Sebelum bahasa Indonesia ditahbiskan menjadi bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda, maka sejumlah linguis Eropa telah menggunakan istilah "bahasa Indonesia" alih-alih "bahasa Melayu" untuk menyebut bahasa yang dipertuturkan di Indonesia, terutama setelah terlihat percabangan pembakuan bahasa yang dipertuturkan di kedua wilayah tersebut pada awal abad ke-20. Pada tahun 1901, Hindia-Belanda (kelak menjadi Indonesia) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen, sedangkan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[2] Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Salah satu linguis yang memopulerkan nama bahasa Indonesia adalah linguis Swis, Renward Brandstetter (1860-1842), yang dikenal sebagai pencetus teori akar bahasa Austronesia. [3], yang sejak 1908 mulai menyebut dirinya sebagai indonesischer Sprachforscher (peneliti bahasa Indonesia). Tulisan-tulisan Brandstetter pada kurun waktu sebelumnya (1893-1908) yang disebutnya Malaio-polynesische Forschungen (studi [bahasa] Melayu Polinesia), mulai 1908 dinamai ulang menjadi Monographien zur indonesischen Sprachforschung (monograf-monograf mengenai riset bahasa Indonesia). Walaupun demikian, "bahasa Indonesia" yang dimaksud oleh Brandstetter lebih luas daripada sekadar bahasa di Hindia-Belanda saja, melainkan juga mencakup bahasa-bahasa Filipina, bahasa Madagaskar, "mulai dari Formosa hingga ke Madagaskar"[3], oleh karena itu penggunaan istilah Indonesia oleh kalangan lingustik tidak memiliki konotasi geopolitis yang sama dengan masa sekarang, melainkan sebagai cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat atau Austronesia Barat[4]. Penelitian Brandstetter tentang Bahasa Indonesia telah diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1916 (empat esai[5]), dan satu di antaranya telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada 1956[6]. Esai-esai itu mempengaruhi perkembangan ilmu linguistik Austronesia[7]. Tentang ketertarikannya, ia menyebutkan pengaruh Niemann, Hurgronje, Adriani, dan Conant: "... Dengan begitu bertahun-tahun saja telah mempeladjari berbagai teks dalam bahasa Indonesia, mula-mula dibawah pimpinan Niemans, kemudian sendiri sadja. Kalau teks-teks itu tiada memuaskan, maka saja – oleh sebab tak pernah mengundjungi Indonesia – berhubungan dengan kaum penjelidik jang telah berpuluh-puluh tahun diam disana, untuk memperoleh keterangan dengan lisan, terutama dengan Snouck Hurgronje, Adriani dan Conant."[6]
Penggunaan istilah "bahasa Indonesia" dalam pengertian modern, yaitu seperti dalam pemikiran Suryaningrat, baru muncul setelah 1918, dan dipakai dalam karya-karya, a.l.: Adriaanse (1918), Jonkman (1918), Ratu Langie (1918). Secara internasional, istilah tersebut mulai digunakan luas pada 1920-an, seperti dalam Weber (1922), dan Congres International Pour la Paix di Paris (1926)[8]

Selasa, 27 Oktober 2015

Kumpulan lagu-lagu Ebiet G. Ade

assalamu'alaikum wr wb n selamat siang untuk teman-teman semua yang kebetulan mampir di blog ini. hehehehe..... gue mau kasih lagu-lagu opa Ebiet G. Ade..... langsung aj di sedot...monggo....

  1. Ebiet G. Ade – Ada Sisa Suara
  2. Ebiet G. Ade – Aku Pasrah Kepada Kebenaran
  3. Ebiet G. Ade – Anak
  4. Ebiet G. Ade – Apakah Ada Bedanya
  5. Ebiet G. Ade – Apakah Mungkin
  6. Ebiet G. Ade – Asmara Satu Ketika
  7. Ebiet G. Ade – Ayah Aku Mohon Maaf
  8. Ebiet G. Ade – Bahasa Matahari
  9. Ebiet G. Ade – Berita Kepada Kawan
  10. Ebiet G. Ade – Berjalan Di Hutan Cemara
  11. Ebiet G. Ade – Biarkanlah Hati Yang Bicara
  12. Ebiet G. Ade – Bias Warna
  13. Ebiet G. Ade – Biduk Telah Sarat dan Ku Tambatkan
  14. Ebiet G. Ade – Bingkai Mimpi
  15. Ebiet G. Ade – Bunga-Bungan Cinta
  16. Ebiet G. Ade – Camelia 1
  17. Ebiet G. Ade – Camelia 2
  18. Ebiet G. Ade – Camelia 2 (instrumentalia)
  19. Ebiet G. Ade – Camelia 2 (Live)
  20. Ebiet G. Ade – Camelia 3
  21. Ebiet G. Ade – Camelia 4
  22. Ebiet G. Ade – Catatan Seorang Penyair
  23. Ebiet G. Ade – Cinta Di Kereta Biru Malam
  24. Ebiet G. Ade – Cinta Sebening Embun
  25. Ebiet G. Ade - Cintaku Kandas Di Rerumputan
  26. Ebiet G. Ade – Dan Hari Ini Engkau
  27. Ebiet G. Ade – Dendang Kita Bersama
  28. Ebiet G. Ade – Dengarkanlah Kata-Kataku
  29. Ebiet G. Ade – Di Manakah Matahariku
  30. Ebiet G. Ade – Dia Lelaki Ilham Dari Sorga
  31. Ebiet G. Ade – Di Tikungan Jalan Cintaku Tertambat
  32. Ebiet G. Ade – Doa Sepasang Petani Muda
  33. Ebiet G. Ade – Dongeng Dari Negeri Antah Berantah
  34. Ebiet G. Ade – Dosa Siapa Ini Dosa Siapa
  35. Ebiet G. Ade – Dosa Siapa Ini Dosa Siapa (instrumentalia)
  36. Ebiet G. Ade – Dua Menit Ini Misteri
  37. Ebiet G. Ade – Dzaflin
  38. Ebiet G. Ade – Eksekusi
  39. Ebiet G. Ade – Elegi Esok Pagi
  40. Ebiet G. Ade – Episode Cinta Yang Hilang
  41. Ebiet G. Ade – Frustasi
  42. Ebiet G. Ade – Gadis Remang-Remang
  43. Ebiet G. Ade – Haruskah Aku Menyerah
  44. Ebiet G. Ade – Hemat Cintamu
  45. Ebiet G. Ade – Hidup 1
  46. Ebiet G. Ade – Hidup 2
  47. Ebiet G. Ade – Hidup 3
  48. Ebiet G. Ade – Hidupku Milikmu
  49. Ebiet G. Ade – Huru Hara
  50. Ebiet G. Ade – Ingin Kupetik Bintang Kejora
  51. Ebiet G. Ade – Isyu
  52. Ebiet G. Ade – Izinkan Aku Reguk Cintamu
  53. Ebiet G. Ade – Jakarta 1
  54. Ebiet G. Ade – Jakarta 2
  55. Ebiet G. Ade – Kado Kecil Buat Istri
  56. Ebiet G. Ade – Kalian Boleh Coba
  57. Ebiet G. Ade – Kalian Dengarkan Keluhanku
  58. Ebiet G. Ade – Kalian Dengarkan Keluhanku (instrumentalia)
  59. Ebiet G. Ade – Kapankah Kita Berlabuh
  60. Ebiet G. Ade – Kembara Lintasan Panjang
  61. Ebiet G. Ade – Kepadamu Aku Pasrah
  62. Ebiet G. Ade – Kesaksian Anak Sampah
  63. Ebiet G. Ade – Ketegangan Hati Seorang pengemis Dan Anaknya
  64. Ebiet G. Ade – Khilaf
  65. Ebiet G. Ade – Kita Hanya Bidak Catur
  66. Ebiet G. Ade – Konserto Doa
  67. Ebiet G. Ade – Kontradiksi Di Dalam
  68. Ebiet G. Ade – Kosong
  69. Ebiet G. Ade – Ku Gandeng Tangan Gaibmu
  70. Ebiet G. Ade – Kupu-Kupu Kertas (Minus One)
  71. Ebiet G. Ade – Lagu Untuk Sebuah Nama
  72. Ebiet G. Ade – Lakon Anak-Anak Bencana
  73. Ebiet G. Ade – Masih Ada Waktu
  74. Ebiet G. Ade – Menjaring Matahari
  75. Ebiet G. Ade – Mimpi-Mimpi Yang Kandas
  76. Ebiet G. Ade – Nasihat Pengemis Untuk Isteri
  77. Ebiet G. Ade – Nyanyian Bumi Seberang (Bona Ni Pasogit)
  78. Ebiet G. Ade – Nyanyian Burung Dan Pepohonan
  79. Ebiet G. Ade – Nyanyian Cinta Satu Ketika
  80. Ebiet G. Ade – Nyanyian Getir Tanah Air
  81. Ebiet G. Ade – Nyanyian Kasmaran
  82. Ebiet G. Ade – Nyanyian Ombak
  83. Ebiet G. Ade – Nyanyian Pendek Buat Anak Manis Berambut Panjang
  84. Ebiet G. Ade – Nyanyian Rindu
  85. Ebiet G. Ade – Nyanyian Siang Dan Malam
  86. Ebiet G. Ade – Nyanyian Suara Hati
  87. Ebiet G. Ade – Opera Tukang Becak
  88. Ebiet G. Ade – Orang-Orang Terkucil
  89. Ebiet G. Ade Orang-Orang Terkucil (instrumentalia)
  90. Ebiet G. Ade – Orator
  91. Ebiet G. Ade – Pengemis Dan Tukang Copet
  92. Ebiet G. Ade – Perjalanan Menjaring Matahari
  93. Ebiet G. Ade – Pesta
  94. Ebiet G. Ade – Potret Anak Harapan
  95. Ebiet G. Ade – Potret Hitam Putih
  96. Ebiet G. Ade – Puisi Bulan Madu
  97. Ebiet G. Ade – Rembulan Menangis
  98. Ebiet G. Ade – Rindu Kehadiran-Mu
  99. Ebiet G. Ade – Rinduku Menggumpal
  100. Ebiet G. Ade – Sajak Pendek Bagi I.R.
  101. Ebiet G. Ade – Seberkas Cinta Yang Sirna
  102. Ebiet G. Ade – Sebuah Tragedi 1981
  103. Ebiet G. Ade – Sejoli Kasih Sarman Dan Lasmi
  104. Ebiet G. Ade – Selingkuh
  105. Ebiet G. Ade – Senandung Jatuh Cinta
  106. Ebiet G. Ade – Senandung Pucuk-Pucuk Pinus
  107. Ebiet G. Ade – Seruling Malam
  108. Ebiet G. Ade – Sketsa Rembulan Emas
  109. Ebiet G. Ade – Tak Pernah Pupus Rinduku
  110. Ebiet G. Ade – Tatkala Letih Menunggu
  111. Ebiet G. Ade – Taubat
  112. Ebiet G. Ade – Tentang Seorang Sahabat
  113. Ebiet G. Ade – Tetes-Tetes Doa Kami
  114. Ebiet G. Ade – Titip Rindu Buat Ayah
  115. Ebiet G. Ade – Titip Rindu Buat Ayah (live)
  116. Ebiet G. Ade – Untuk Kita Renungkan
  117. Ebiet G. Ade – Untuk Kita Renungkan (instrumentalia)
  118. Ebiet G. Ade – Untukmu Kekasih
  119. Ebiet G. Ade – Yang Telah Selesai
  120. Ebiet G. Ade – Yang Terluka
  121. Ebiet G. Ade – Zaman

  1. Ebiet G. Ade – Ada Yang Tak Mampu Kulupa
  2. Ebiet G. Ade – Aku Ingin Pulang
  3. Ebiet G. Ade – Biarlah Aku Diam
  4. Ebiet G. Ade – Cerita Suminah Dan Tukang Sapu
  5. Ebiet G. Ade – Cita-Cita Kecil Si Anak Desa
  6. Ebiet G. Ade – Hidup IV
  7. Ebiet G. Ade – Hidup V
  8. Ebiet G. Ade – Kau Rengkuh Mentari, Kau Dekap Rembulan
  9. Ebiet G. Ade – Lolong
  10. Ebiet G. Ade – Mimpi Di Parang Tritis
  11. Ebiet G. Ade – Nyanyian Rindu Untuk Ibu
  12. Ebiet G. Ade – Saksikan Bahwa Sepi
  13. Ebiet G. Ade – Sepucuk Surat Cinta
  14. Ebiet G. Ade – Seraut Wajah
  15. Ebiet G. Ade – Sketsa Wajah Buram
  16. Ebiet G. Ade – Wajahku Masih Yang Kemarin

Kamis, 08 Oktober 2015

Game Kairosoft gratis.apk

Hai selamat sore kawan-kawan, hari ini saya mau membagikan game-game keren buatan KAIROSOFT. dari segi grafik memang tampak sangat sederhana,tapi jangan memandang sebelah mata game-game ini. di butuhkan kejelian dan kemampuan berfikir untuk memainkan game-game ini. Cek this out...!!
HATI-HATI KETAGIHAN...hahahaha.... 

..Langsung di klik sajalahh gambarnya untuk mendownload..

Rabu, 07 Oktober 2015

Benarkah Kata Itu ?

Awali perjumpaan dengan salam, Assalamu'alaikum, selamat sore kawan-kawan, semoga sehat selalu. Di sore yang cerah nan panas ini saya akan sedikit mengulas tentang beberapa penulisan bahasa indonesia yang kurang benar bahkan sebagian rancu (mengandung makna ganda). Ternyata banyak sekali masyarakat kita yang belum sadar betul tentang bahasa indonesia yang sesuai kaidah. Gak percaya ?? Ini buktinya..silakan disimak !

1. TERTIP atau TERTIB ?

Ini dia pembahasan awal kita, benarkah kata ''TERTIP'' diakhiri huruf ''P'' ? Menurut kamus besar bahasa indonesia yang benar menggunakan akhiran huruf ''B''.

2.APOTIK atau APOTEK ?
Banyak sekali kesalahan penulisan pada kata ini. Lalu yang benar yang mana ? Ternyata eh ternyata , dalam kamus besar bahasa indonesia tidaka ada kata ''APOTIK'', yang ada ialah kata ''APOTEK''.
( mungkin kawan-kawan ingat orang yang bekerja di apotek itu disebut apa ? yak ! Betul sekali, namanya APOTEKER bukan APOTIKER. )

3. PRAKTEK atau PRAKTIK ?

 Nah, untuk yang ini, mungkin kalian juga tidak menyadari bahwa penulisan kata ini ternyata salah. ya, kata ''PRAKTEK'' tidak akan kalian temukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia, karena di kamus itu yang tertulis adalah kata''PRAKTIK''. Tidak percaya ? Oke kita buktikan, pernahkah kalian pergi ke laboratorium ? Ruangan yang digunakan untuk praktik namanya apa ? Benar sekali, namanya Ruang Praktikum bukan Ruang Praktekum. hahahaha....

4. SILAHKAN atau SILAKAN ?





Untuk yang satu ini bukan kata yang asing lagi ditelinga kita, mungkin kalian juga sering melihat, mendengar, bahkan mengucapkannya. Lalu mana yang benar, menurut KBBI tidak ada kata ''SILAHKAN'' yang ada ialah kata ''SILAKAN''. Di ambil dari kata dasar ''SILA'' yang mempunyai makna sudilah kiranya(kata perintah yang halus), dan di beri akhiran ''...kan''.

5. KUITANSI atau KWITANSI ?




Oke, untuk yang ini juga sering sekali kita menjumpai kata ini, lalu manakah yang benar ? Jawabannya ternyata ''KUITANSI'' bukan ''KWITANSI. Silakan cek di kamus bahasa Indonesia.

Baiklah mungkin cukup sampai disini dulu , untuk kelanjutannya kita berjumpa lagi di postingan berikutnya tentang bahasa yang mungkin belum kalian sadari. oke, sekian dan semoga bermanfaat. amien. Selamat sore....byeee....

Selasa, 06 Oktober 2015

Asal-Usul Bahasa Indonesia

Assalamu'alaikum, Selamat sore kawan-kawanku, semoga tidak bosan membahas bahasa.hehehe...Langsung saja deh, monggo disimak...


Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa resmi Republik Indonesia[1] dan bahasa persatuan bangsa Indonesia.[2] Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu.[3] Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang)[4] dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.[5] Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.[6] Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,[7] sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[8] Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.[9]


Masa lalu sebagai bahasa Melayu

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[butuh rujukan] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur".Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[13] Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman


Bahasa Indonesia

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[12] Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.[14] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."[15]
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.[16]

Oke, cukup sekian postingan ini, kita lanjut lagi nanti.hehehe...ngopi dulu kawan. bye....